Seutuhnya PBM dimaksud adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Mencermati judul peraturan ini jelaslah bahwa pemberdayaan FKUB menjadi
salahsatu dari tiga substansi PBM. Tepatnya, perihal FKUB diulas dalam
PBM pada Bab III Pasal 8 – 12. Berikut penjelasannya.
Pada Pasal 8 dijelaskan bahwa FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota. Ini tidak berarti bahwa untuk tingkat kecamatan dan desa FKUB tidak boleh ada atau tidak diperlukan, melainkan
PBM ini hanya mengatur FKUB hingga tingkat kabupaten/kota. ‘Mengatur’
berarti menyangkut kewajiban, hak, dan wewenang tertentu. FKUB
tentu saja baik jika ada di tingkat kecamatan dan desa. Demikian juga
forum-forum kerukunan sejenisnya. Hal ini akan sangat membantu upaya
pemeliharaan kerukunan di tingkat terrendah. Namun keberadaan dan
perannya tidak termasuk yang diatur dalam PBM, sehingga tidak terikat
dengan berbagai ketentuannya, termasuk dalam hal hak dan wewenang,
seperti anggaran dan pemberian rekomendasi.
Pembentukan FKUB provinsi dan kabupaten/kota, sebagaimana diminta oleh PBM, dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Peran
aktif dan inisiasi dalam hal ini diserahkan seutuhnya kepada masyarakat
(baca: umat beragama). Peran Pemerintah tidak lebih sebagai fasilitator
saja. Fasilitasi dapat berarti penyediaan tempat rapat, akomodasi, atau juga pembiayaan.
Hubungan FKUB provinsi dengan FKUB kabupaten/kota tidaklah bersifat struktural yang memiliki garis instruktif, melainkan hubungan yang bersifat konsultatif. Seperti
diketahui, FKUB bukanlah organisasi massa yang memiliki jenjang
kepengurusan terstruktur dari pusat hingga daerah. FKUB dibentuk dengan
semangat kebersamaan antarumat beragama untuk menyelesaikan
masalah-masalah keagamaan di wilayahnya. Maka, hubungan dengan FKUB di
level lainnya hanyalah bersifat konsultatif, atau, jika boleh
ditambahkan, juga koordinatif.
Lalu, apa saja peran atau tugas FKUB? Pasal 9 memerincinya. Pertama, tugas FKUB provinsi dan kabupaten/kota adalah melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat.
Dialog dilakukan dalam berbagai bentuk, baik berupa pertemuan formal
seperti workshop, seminar; ataupun berupa dialog informal seperti saat
para anggota FKUB berbaur berinteraksi dengan masyarakat. Kegiatan
dialog ini sejalan dengan tugas yang kedua, yakni menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat.
Berbagai aspirasi masyarakat dari hasil dialog itu kemudian
didiskusikan bersama anggota pengurus FKUB. Jika aspirasi tersebut
terkait dengan penyelesaian kasus tertentu, maka FKUB dapat memberikan
solusi atas permasalahan tersebut. Jika aspirasi itu terkait dengan
kebijakan pemerintah, maka hal ini searah dengan tugas ketiga FKUB, yakni menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur
atau bupati/walikota. Sampai di sini, meski rangkaian tugas FKUB satu
hingga tiga ini sepertinya sekuensial (berurut-menyambung), namun
sesungguhnya tidaklah demikian. Bisa saja tugas-tugas tersebut berjalan
masing-masing.
Tugas keempat adalah melakukan
sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang
keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan
masyarakat. Tentu
saja, yang pertama sekali adalah sosialisasi PBM No. 9 dan 8 tahun 2006
itu sendiri. Selain itu, kebijakan terkait kerukunan umat beragama
lainnya, seperti: program kewaspadaan dini. Bentuk kemitraan
masyarakat-pemerintah dalam sosialisasi kebijakan pemeliharaan kerukunan
ini telah dimulai oleh para pemuka agama tingkat pusat, yang senatiasa
menyertai dan menjadi narasumber dalam berbagai kesempatan sosialisasi
PBM, baik yang dilakukan oleh Departemen Agama maupun Departemen Dalam
Negeri yang telah dilaksanakan hampir di seluruh provinsi di Indonesia.
Satu lagi, khusus untuk FKUB kabupaten/kota, tugasnya adalah memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.
Adapun Pasal 10 PBM menjelaskan mengenai keanggotaan FKUB. Bahwa FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat. Pemuka agama sendiri adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan.
Untuk tingkat provinsi, jumlah anggota FKUB paling banyak 21 orang, sedangkan untuk FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 orang. Salahseorang dari mereka berperan sebagai ketua, dua orang sebagai wakil ketua 1 dan 2, satu orang sebagai sekretaris, satu orang sebagai wakil sekretaris, dan sisanya anggota. Penentuan kepengurusan ini dilakukan secara musyawarah oleh seluruh anggota.
Adapun komposisi keanggotaan FKUB, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di provinsi dan kabupaten/kota. Artinya,
sedikitnya harus ada satu orang wakil dari setiap agama yang ada di
provinsi atau kabupaten/kota tersebut, yang menjadi anggota FKUB.
Cara penentuan pengurus FKUB dengan proporsi sebagaimana di atas dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut. Pertama,
tentukan berapa jumlah agama yang ada di provinsi atau kabupaten/kota
tersebut, serta berapa persentase komposisi pemeluk agama di sana. Kedua,
bagikan masing-masing satu jatah pengurus FKUB, sehingga semua agama
yang ada di sana mendapat wakil di FKUB minimal 1 orang– sesuai tuntutan
PBM. Lalu, ketiga, bagilah sisa kursi dengan cara mengalikannya dengan
prosentase jumlah pemeluk agama di sana. Boleh jadi ada angka desimal,
hal ini sebaiknya diselesaikan dengan cara kompromi.
Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota, sebagaimana diatur di dalam Pasal 11. Dewan ini bertugas: (a) membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan memfasilitasi
hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antar sesama
instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama.
Meski namanya “Dewan Penasihat”, namun sejatinya mereka bukanlah
menasihati para pemuka agama di FKUB, melainkan menjadi jembatan antara
FKUB (baca: masyarakat) dengan kepala daerah (baca: pemerintah). Hal ini
mendapat konfirmasi ketika diketahui bahwa anggota Dewan Penasihat
adalah beberapa pejabat pemerintah. Maksudnya, agar apa yang dihasilkan
oleh rapat FKUB dapat lebih mudah masuk ke meja pengambil kebijakan.
Dewan Penasehat FKUB di tingkat provinsi diketuai
oleh wakil gubernur, dengan wakil ketua adalah kepala kantor wilayah
departemen agama provinsi. Kepala badan kesatuan bangsa dan politik provinsi bertindak sebagai sekretaris. Sedangkan anggota terdiri atas pimpinan instansi terkait, seperti jajaran muspida, kepolisian, dan sebagainya. Dewan ini ditetapkan oleh gubernur dengan sebuah SK Gubernur.
Sedangkan Dewan Penasehat FKUB kabupaten/kota yang ditetapkan oleh bupati/walikota dengan SK, diketuai wakil bupati/wakil walikota, dengan sekretaris adalah kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Sekretaris dijabat oleh kepala badan kesatuan bangsa dan politik kabupaten/kota, sedangkan anggota adalah para pimpinan instansi terkait, seperti jajaran muspida dan kepolisian.
Demikianlah
hal-hal tentang FKUB yang diatur di dalam PBM. Adapun hal-hal detail
lainnya yang belum tercakup di dalam PBM, dapat ditindaklanjuti dengan
suatu peraturan gubernur. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 12, yang berbunyi: ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasihat FKUB provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar