Sabtu, 01 Desember 2012

Revitalisasi FKUB di DIY

-->
Revitalisasi FKUB di DIY
Ignas Suryadi Sw.

Menurut KBBI (1999), kata revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Revitalisasi mengandung kesediaan otokritik yang serius. Ada ketidakpuasan kreatif yang menjadi trigger atau pemicunya. Terlebih di era postmodernisme ini rasanya membongkar kemapanan itu merupakan keniscayaan. Tuntutan untuk selalu memperbaiki diri (bersikap magis, tobe more and more) menjadi keharusan dalam menghadapi perubahan.
Dalam hal revitalisasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) demi membangun kerukunan umat beragama, maka mestinya dimulai dengan masing-masing (penganut agama) komponen FKUB berusaha ‘rukun’ dengan diri sendiri. Agar kita mampu bersikap rukun dengan orang lain atau sesama kita, maka kita harus rukun dulu dengan diri sendiri. Sebab, orang yang resah dan gelisah – dan kemudian membuat ulah (yang mengakibatkan ketidakrukunan) – biasanya adalah orang yang (pada dirinya sendiri) sedang bermasalah.
Menurut bunyi pasal (1) ayat (1) Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Th. 2006, kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945. Sedang tugas utama FKUB, sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 PBM Nomor : 9 Tahun 2006 & Nomor : 8 Tahun 2006 adalah sebagai berikut. (1) FKUB provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas: (a) melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; (b) menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; (c) menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan (d) melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. Ayat (2) FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas sama dengan FKUB Provinsi ditambah (e) memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.


Tantangan KUB Kontemporer

Banyak studi menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama di DIY cukup baik, tetapi bukan berarti nihil. Sekalipun relatif paling kecil temuan intoleransinya (tahun 2010 ‘hanya’ 1 kasus), namun warga DIY tetap harus bersikap waspada agar DIY tetap istimewa. Ada lima tantangan kerukunan umat beragama kontemporer, yaitu: pertama, primordialisme dan sektarianisme berlebihan. Kedua, ketidakadilan sosial (pengingkaran sila ke-5 Pancasila). Ketiga, kerusakan lingkungan hidup. Keempat, kekerasan dan tawuran antar pelajar, mahasiswa, pemuda, kampung/desa. Dan kelima, Narkoba – perdagangan senjata api ilegal – perampokan – terorisme.

Di masa lalu (Orba), banyak analis yang berkeyakinan bahwa penyebab konflik (di masa pasca Orba malah lebih sering mencuat menjadi kerusuhan) bukan semata persoalan SARA an sich, melainkan ada sebab-sebab lain seperti kesenjangan sosial-ekonomi-politik. Kejadian konflik agama juga karena “kecelakaan” dari tak terkendalinya proses reformasi di Indonesia. Yang lain mengkonstatasi bahwa konflik antar umat beragama sebagai buah dari kepentingan politisasi agama (ada politicking sentimen SARA demi nafsu syahwat kekuasaan). Munculnya konflik agama dapat pula menjadi konsekuensi dari pandangan fundamental dalam suatu agama.
Saya rasa akar masalah konflik SARA lainnya asalah primordialisme dan sektarianisme, dalam arti hanya mau dengan ‘kelompok’ (latar suku, agama, ras, ilmu/program studi & PT-nya) – dalam profesi & pekerjaan apa pun, pergaulan, dan sebagainya – dan menganggap kelompok lain lebih rendah daripada kelompoknya. Juga sering merasa paling tahu, bahkan tahu tentang yang Mahatahu dan mengklaim segala macam kebenaran-tafsir subjektif-manipulatif.


Upaya Revitalisasi FKUB

Revitalisasi FKUB di DIY berarti menjadikan FKUB sesuai ‘PBM Plus’, artinya selain tugas utamanya – yang harus tetap jalan – FKUB harus aktif-kreatif terus-menerus menyebarkan nilai-nilai kebersamaannya ke ranah akar rumput (grass roots). Dari aktivitas yang sekadar in the box menjadi out of the box. Sarasehan-sarasehan FKUB –dengan tema variatif – tidak hanya ‘formalistik’ dan melalui jalur birokrasi, namun juga proaktif-informal-aktual, seperti: pertama, forum-forum keagamaan (semua agama) masing-masing sesekali saling menghadirkan ‘yang lain’ untuk berbagi pemahaman, pengalaman, komitmen, dan kalau mungkin sampai pada ‘Dialog Karya’. Kedua, Mari kita tunjukkan kepada Umat bahwa kita memang berbeda, tetapi bisa menjadi sama baiknya, sama komitmen dan keprihatinannya (misalnya soal keberpihakan kepada kaum dhuafa, kaum kecil-lemah-miskin-tersingkir-difabel/KLMTD, dan sebagainya). Kenapa tidak bersinergi? We are different but we are equal, and we are not only different and equal but we are also brothers and sisters.

Yang ketiga, FKUB memperbanyak kerjasama (sinergi) dengan pihak lain yang sekepedulian: FPUB, Dian Interfidei, CRCS UGM, dan sebagainya. Kelima, FKUB melakukan publikasi (press release, penerbitan buletin/News Letters, buku dan panduan kerja, karya tulis opini, dan sebagainya) demi promosi kerukunan. Keenam a., mendorong media massa untuk menghentikan pemberitaan kekerasan maupun pelaku kekerasannya agar tidak ada orang yang menjadi populer karena melakukan kejahatan kemanusiaan namun terus-menerus diberitakan); b. Kita melakukan pemboikotan pada media massa yang tidak mendukung program anti kekerasan; dengan pendidikan literasi media. Dan ketujuh, FKUB ikut mendorong Kementerian Pendidikan Nasional melakukan revitalisasi kurikulum agar tidak terlalu sarat beban akademik (kognitif-hafalan) – termasuk beban berat buku-buku dalam tas sekolah hariannya – dan memperbanyak pendidikan olah hati (habituasi pendidikan karakter), dengan demikian, semoga anak-anak kita menjadi senang belajar, dan memiliki imajinasi & berbudaya tinggi, serta tidak justru menjadi stres dan mencari pelampiasan dengan tindakan destruktif (misalnya tawuran). Kini momennya sangat tepat ketika Depdikbud sedang menyiapkan uji publik hasil revitalisasi kurikulum; kita mesti membantu mengkritisinya demi kebaikan bersama.

Sumpah Anti KKKKN
Dalam rangka merayakan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan ini, saya ingin mengajak kawan-kawan muda dan kita semua utk melakukan Sumpah (lanjutan) Anti KKKKN (K4N): Kemalasan, Ketidakpedulian, Korupsi, Kekerasan, dan Narkoba.
  • KEMALASAN. Kemalasan untuk belajar-bekerja-berubah menuju perbaikan dan proses tumbuh yang memadai. Kemalasan bertentangan dengan ketidakpuasan kreatif dan kerendahhatian intelektual, serta menghambat kemakmuran bersama.

  • KETIDAKPEDULIAN. Ini sama saja dengan pembiaran atas pelbagai masalah sosial (kekerasan, kemiskinan, dan sebagainya)

  • KORUPSI. Ini masalah yang sudah terlalu akut, mendominasi berita harian media massa kita, dan menjadi akar aneka masalah sosial lainnya.

  • KEKERASAN. Kekerasan kata dan perilaku juga menjadi sebab dan akibat dari masalah lainnya, berkelindan dan massif.

  • NARKOBA. Konon, masalah ini telah menjadi sangat parah dan berkelindan dengan perampokan, senjata api ilegal, dan terorisme.

Sumpah Anti K4N itu demi memperkuat pengamalan Pancasila (bukan menggantikan!); dan agaknya perlu dimulai dari Sila ke-5-nya (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Kendati sesunggunya kelima sila dalam Pancasila bersifat saling terkait dan terpadu/integral.

Drs. Ignas Suryadi Sw, S.E., M.Pd.
Guru SMA Negeri dan dosen sebuah PTS, pengurus FKUB Kabupaten Sleman, DIY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar