Revitalisasi FKUB di DIY
Ignas Suryadi Sw.
Menurut KBBI (1999), kata
revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali
suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Revitalisasi mengandung
kesediaan otokritik yang serius. Ada ketidakpuasan kreatif yang
menjadi trigger atau pemicunya. Terlebih di era postmodernisme
ini rasanya membongkar kemapanan itu merupakan keniscayaan. Tuntutan
untuk selalu memperbaiki diri (bersikap magis, tobe more and more)
menjadi keharusan dalam menghadapi perubahan.
Dalam hal revitalisasi Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) demi membangun kerukunan umat
beragama, maka mestinya dimulai dengan masing-masing (penganut agama)
komponen FKUB berusaha ‘rukun’ dengan diri sendiri. Agar kita
mampu bersikap rukun dengan orang lain atau sesama kita, maka kita
harus rukun dulu dengan diri sendiri. Sebab, orang yang resah dan
gelisah – dan kemudian membuat ulah (yang mengakibatkan
ketidakrukunan) – biasanya adalah orang yang (pada dirinya sendiri)
sedang bermasalah.
Menurut bunyi pasal (1) ayat
(1) Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menag dan Mendagri No. 9 dan 8
Th. 2006, kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat
beragama, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila
dan UUD Negara RI Tahun 1945. Sedang tugas utama FKUB, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 9 PBM Nomor :
9 Tahun 2006 & Nomor
: 8 Tahun 2006
adalah sebagai berikut. (1) FKUB provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas: (a)
melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh
masyarakat; (b) menampung aspirasi ormas
keagamaan dan aspirasi masyarakat; (c) menyalurkan
aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan
gubernur; dan (d) melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan
yang berkaitan
dengan kerukunan
umat beragama
dan pemberdayaan
masyarakat. Ayat (2)
FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
mempunyai tugas sama dengan FKUB
Provinsi ditambah (e) memberikan rekomendasi
tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.
Tantangan KUB Kontemporer
Banyak studi menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama di DIY cukup baik, tetapi bukan berarti nihil. Sekalipun relatif paling kecil temuan intoleransinya (tahun 2010 ‘hanya’ 1 kasus), namun warga DIY tetap harus bersikap waspada agar DIY tetap istimewa. Ada lima tantangan kerukunan umat beragama kontemporer, yaitu: pertama, primordialisme dan sektarianisme berlebihan. Kedua, ketidakadilan sosial (pengingkaran sila ke-5 Pancasila). Ketiga, kerusakan lingkungan hidup. Keempat, kekerasan dan tawuran antar pelajar, mahasiswa, pemuda, kampung/desa. Dan kelima, Narkoba – perdagangan senjata api ilegal – perampokan – terorisme.
Di masa
lalu (Orba), banyak analis yang berkeyakinan bahwa penyebab konflik
(di masa pasca Orba malah lebih sering mencuat menjadi kerusuhan)
bukan semata persoalan SARA an sich,
melainkan ada sebab-sebab lain seperti kesenjangan
sosial-ekonomi-politik. Kejadian konflik agama juga karena
“kecelakaan” dari tak terkendalinya proses reformasi
di Indonesia. Yang lain mengkonstatasi bahwa konflik antar umat
beragama sebagai buah dari kepentingan politisasi agama
(ada politicking
sentimen SARA demi nafsu syahwat kekuasaan). Munculnya konflik agama
dapat pula menjadi
konsekuensi dari pandangan fundamental dalam suatu agama.
Saya rasa
akar masalah konflik SARA lainnya asalah primordialisme dan
sektarianisme, dalam arti hanya mau dengan
‘kelompok’ (latar suku, agama, ras, ilmu/program studi &
PT-nya) – dalam profesi & pekerjaan apa pun, pergaulan, dan
sebagainya – dan menganggap kelompok lain lebih rendah daripada
kelompoknya. Juga sering merasa paling tahu, bahkan tahu tentang yang
Mahatahu dan
mengklaim segala macam kebenaran-tafsir subjektif-manipulatif.
Upaya Revitalisasi FKUB
Revitalisasi FKUB di DIY berarti menjadikan FKUB sesuai ‘PBM Plus’, artinya selain tugas utamanya – yang harus tetap jalan – FKUB harus aktif-kreatif terus-menerus menyebarkan nilai-nilai kebersamaannya ke ranah akar rumput (grass roots). Dari aktivitas yang sekadar in the box menjadi out of the box. Sarasehan-sarasehan FKUB –dengan tema variatif – tidak hanya ‘formalistik’ dan melalui jalur birokrasi, namun juga proaktif-informal-aktual, seperti: pertama, forum-forum keagamaan (semua agama) masing-masing sesekali saling menghadirkan ‘yang lain’ untuk berbagi pemahaman, pengalaman, komitmen, dan kalau mungkin sampai pada ‘Dialog Karya’. Kedua, Mari kita tunjukkan kepada Umat bahwa kita memang berbeda, tetapi bisa menjadi sama baiknya, sama komitmen dan keprihatinannya (misalnya soal keberpihakan kepada kaum dhuafa, kaum kecil-lemah-miskin-tersingkir-difabel/KLMTD, dan sebagainya). Kenapa tidak bersinergi? We are different but we are equal, and we are not only different and equal but we are also brothers and sisters.
Yang ketiga, FKUB
memperbanyak kerjasama (sinergi) dengan pihak lain yang sekepedulian:
FPUB, Dian Interfidei, CRCS UGM, dan sebagainya. Kelima, FKUB
melakukan publikasi (press release, penerbitan buletin/News
Letters, buku dan panduan kerja, karya tulis opini, dan
sebagainya) demi promosi kerukunan. Keenam a., mendorong
media massa untuk menghentikan pemberitaan kekerasan maupun pelaku
kekerasannya agar tidak ada orang yang menjadi populer karena
melakukan kejahatan kemanusiaan namun terus-menerus diberitakan); b.
Kita melakukan pemboikotan pada media massa yang tidak mendukung
program anti kekerasan; dengan pendidikan literasi media. Dan
ketujuh, FKUB ikut mendorong Kementerian Pendidikan Nasional
melakukan revitalisasi kurikulum agar tidak terlalu sarat beban
akademik (kognitif-hafalan) – termasuk beban berat buku-buku dalam
tas sekolah hariannya – dan memperbanyak pendidikan olah hati
(habituasi pendidikan karakter), dengan demikian, semoga anak-anak
kita menjadi senang belajar, dan memiliki imajinasi & berbudaya
tinggi, serta tidak justru menjadi stres dan mencari pelampiasan
dengan tindakan destruktif (misalnya tawuran). Kini momennya sangat
tepat ketika Depdikbud sedang menyiapkan uji publik hasil
revitalisasi kurikulum; kita mesti membantu mengkritisinya demi
kebaikan bersama.
Sumpah
Anti KKKKN
Dalam rangka merayakan Hari
Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan ini, saya ingin mengajak kawan-kawan
muda dan kita semua utk melakukan Sumpah (lanjutan) Anti KKKKN (K4N):
Kemalasan, Ketidakpedulian, Korupsi, Kekerasan, dan Narkoba.
KEMALASAN. Kemalasan untuk belajar-bekerja-berubah menuju perbaikan dan proses tumbuh yang memadai. Kemalasan bertentangan dengan ketidakpuasan kreatif dan kerendahhatian intelektual, serta menghambat kemakmuran bersama.
KETIDAKPEDULIAN. Ini sama saja dengan pembiaran atas pelbagai masalah sosial (kekerasan, kemiskinan, dan sebagainya)
KORUPSI. Ini masalah yang sudah terlalu akut, mendominasi berita harian media massa kita, dan menjadi akar aneka masalah sosial lainnya.
KEKERASAN. Kekerasan kata dan perilaku juga menjadi sebab dan akibat dari masalah lainnya, berkelindan dan massif.
NARKOBA. Konon, masalah ini telah menjadi sangat parah dan berkelindan dengan perampokan, senjata api ilegal, dan terorisme.
Sumpah Anti K4N itu demi
memperkuat pengamalan Pancasila (bukan menggantikan!); dan agaknya
perlu dimulai dari Sila ke-5-nya (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia). Kendati sesunggunya kelima sila dalam Pancasila bersifat
saling terkait dan terpadu/integral.
Drs. Ignas Suryadi Sw, S.E., M.Pd.
Guru SMA Negeri dan dosen sebuah PTS, pengurus FKUB
Kabupaten Sleman, DIY.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar